Ali kecil adalah anak yang malang. Namun, kehadiran Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega ia bercurah hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tak pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah Rabb semesta sekalian alam.
Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Ia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak cuma dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini...saat paman yang selama ini melindunginya, tak mampu ia lindungi nanti...di hari akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya.
Betul-betul
pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan
Rasulullah. Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah
bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata,
""Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak
mengajakmu kecuali kepada kebaikan".
Sejak
masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah.
Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia
telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali
adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai
peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.
Kecintaan
Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah
kesempatan ia menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda,
yaitu : "Ali, engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat..."
Ali,
adalah pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang
meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, ia
kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain
berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang
ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk
beliau. "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil
selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai
dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang
masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.
Amirul
mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum
serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda
tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian
menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar
sudah lama binasa"
Pengorbanannya
menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang
Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan
pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta.
Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia masih
tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah
ditemani Abu Bakar seorang.
Keperkasaan
Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi
Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut
berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul Badar..."), Ali
menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan
separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan
malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.
Perang
Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama
Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan iman.
Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para
sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang
gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tak pernah lagi
diucapkan Rasulullah..."Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu
berkumpul...jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di
muka bumi ini..."
Dalam
berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan muslim
seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30
gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan
bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali,
menjadi bintang lapangannya hari itu.
Tak
hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang
disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi
penyelamat karena dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu
demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi
Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan
darah mengalir di mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat
bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi
kritis.
Perang
Uhud meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak
kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah
--sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah yang
selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah manisnya
adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid,
panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir
hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan
Islam.
Bagi
Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah
binti Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang
membasuh luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang
bersimbah darah.
Juga
di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang
sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya
sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara
paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud. Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan
suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda:
“Manifestasi seluruh iman sedang berhadapan dengan manifestasi seluruh
kekufuran”.
Dan
teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan.
Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan
kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini, membuat
Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama
dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.
Seluruh
peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk.
Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab
Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan
Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali
di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk
itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.
Perubahan
drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi,
bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah,
Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang
melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali
benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalah
kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya". Dari ahli pedang menjadi
ahli kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia
'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah
nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur
melawan sahabat.
Kenangan
Bersama Fatimah Az-Zahra
Sejatinya,
sosok Fatimah telah lama ada di hati Ali. Ali-lah yang mengantarkan Fatimah
kecil meninggalkan Mekkah menyusul ayahnya yang telah dulu hijrah. Ali pula
yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa Fatimah menangis
tersedu-sedu setiap kali Rasulullah dizhalimi. Ali bisa merasakan betapa
pedihnya hati fatimah saat ia membersihkan kotoran kambing dari punggung
ayahnya yang sedang sholat, yang dilemparkan dengan penuh kebencian oleh
orang-orang kafir quraisy.
Bagi
Fatimah, sosok rasulullah, ayahnya, adalah sosok yang paling dirindukannya.
Meski hati sedih bukan kepalang, duka tak berujung suka, begitu melihat wajah
ayahnya, semua sedih dan duka akan sirna seketika. Bagi Fatimah, Rasulullah
adalah inspirator terbesar dalam hidupnya. Fatimah hidup dalam kesederhanaan
karena Rasulullah menampakkan padanya hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan.
Fatimah belajar sabar, karena Rasulullah telah menanamkan makna kesabaran
melalui deraan dan fitnah yang diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali
merasakan itu semua. Karena ia tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.
Maka,
saat Rasulullah mempercayakan Fatimah pada dirinya, sebagai belahan jiwanya,
sebagai teman mengarungi kehidupan, maka saat itulah hari paling bersejarah
bagi dirinya. Sebab, sesunguhnya, Fatimah bagi Ali adalah seperti bunda
Khodijah bagi Rasulullah. Teramatlah istimewa.
Suka
duka, yang lebih banyak dukanya mereka lewati bersama. Dua hari setelah
kelahiran Hasan, putra pertama mereka, Ali harus berangkat pergi ke medan
perang bersama Rasulullah. Ali tidak pernah benar-benar bisa mencurahkan
seluruh cintanya buat Fatimah juga anaknya. Ada mulut-mulut umat yang menganga
yang juga menanti cinta sang khalifah.
Mereka
berdua hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan yang sampai mengguncang langit.
Penduduk langit bahkan sampai ikut menangis karenanya. Berhari-hari tak ada
makanan di meja makan. Puasa tiga hari berturut-turut karena ketiadaan makanan
pernah hinggap dalam kehidupan mereka. Tengoklah Ali, dia sedang menimba air di
pojokkan sana, Setiap timba yang bisa angkat, dihargai dengan sebutir kurma.
Hasan dan Husein bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah.
Pun,
demikian tak pernah ada keluk kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka masih
bisa bersedekah. Rasulullah...tak mampu menahan tangisnya... saat mengetahui
Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai kalung
peninggalan sang bunda Khodijah, ketika kedatangan pengemis yang meminta belas
kasihan padanya. Rasulullah, yang perkasa itu, tak mampu menyembunyikan betapa
air matanya menetes satu persatu...terutama mengingat bahwa kalung itu begitu
khusus maknanya bagi dirinya... dan fatimah rela melepasnya, demi menyelamatkan
perut seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula dikenalnya.
Dan
lihatlah...langit tak diam. Mereka telah menyusun rencana. HIngga, melalui
tangan para sahabat, kalung itu akhirnya kembali ke Fatimah. Sang pengemis, budak
belaian itu bisa pulang dalam keadaan kenyang, dan punya bekal pulang, menjadi
hamba yang merdeka pula. Dan yang terpenting adalah kalung itu telah kembali ke
lehernya yang paling berhak...Fatimah.
Namun,
waktu terus berjalan. Cinta di dunia tidaklah pernah abadi. Sebab jasad
terbatasi oleh usia. Mati. Sepeninggal Rasulullah, Fatimah lebih sering berada
dalam kesendirian. Ia bahkan sering sakit-sakitan. Sebuah kondisi yang
sebelumnya tidak pernah terjadi saat rasulullah masih hidup. Fatimah seperti tak
bisa menerima, mengapa kondisi umat begitu cepat berubah sepeninggal ayahnya.
Fatimah merasa telah kehilangan sesuatu yang bernama cinta pada diri umat
terhadap pemimpinnya. Dan ia semakin menderita karenanya setiap kali ia
terkenang pada sosok yang dirindukannya, Rasulullah SAW.
Pada
masa ketika kekalutan tengah berada di puncaknya, Fatimah teringat pada
sepenggal kalimat rahasia ayahnya. Pada detik-detik kematian Rasulullah...di
tengah isak tangis Fatimah...Rasulullah membisikkan sesuatu pada Fatimah, yang
dengan itu telah berhasil membuat Fatimah tersenyum. Senyum yang tak bisa
terbaca. Pesan Rasulullah itu sangatlah rahasia, dia hanya bisa terkatakan
nanti setelah Rasulullah wafat atau saat Fatimah seperti sekarang
ini...terbujur di pembaringan. Ya, Rasulullah berkata, "Sepeninggalku,
...diantara bait-ku (keluargaku), engkaulah yang pertama-tama akan
menyusulku..."
Kini,
Fatimah telah menunggu masa itu. Ia telah sedemikian rindu dengan ayahanda
pujaan hatinya. Setelah menatap mata suaminya, dan menggenggam erat
tangannya...seakan ingin berkata, "kutunggu dirimu nanti di
surga...bersama ayah...", Fatimah Az-Zahro menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
Dengan
sisa-sisa tenaga yang dimilikinya... dalam deraian air mata... Ali menguburkan
jasad istrinya tercinta itu...yang masih belia itu...sendiri...di tengah malam
buta...Ali tidak ingin membagi perasaannya itu dengan orang lain. Mereka berdua
larut dalam keheningan yang hanya mereka berdua yang tahu. Lama Ali terpekur di
gundukan tanah merah yang baru saja dibuatnya. Setiap katanya adalah setiap
tetes air matanya. Mengalir begitu deras. Hingga kemudian, dengan dua tangan
terkepal. Ali bangkit berdiri...dan berteriak sekeras-seKerasnya sambil
menghadap langit...." A L L A H U ... A K B A R".
Pertempuran
Antar Sahabat
Amirul
Mukminin Ali ra., kemudian berkonsentrasi membenahi kondisi umat. Terutama pada
sisi administrasi pemerintahan, ekonomi dan stabilitas pertahanan. Beberapa
reformasi fundamental, seperti penggantian pejabat dan pengambilan kembali
harta yang pernah diberikan oleh khalifah sebelumnya (Ustman bin Affan)
menyulut kontroversi. Terutama, dalam kacamata awam, Ali tak pula kunjung
menyeret pelaku pembunuhan Khalifah Ustman ke pengadilan.
Yang
harus dihadapi Ali tak tanggung-tanggung, sahabatnya sendiri. Sahabat yang dulu
pernah berjuang bersama Rasulullah menegakkan Islam, kini berada dalam barisan
yang hendak melawannya. Bahkan ada pula sahabat yang dulu membaiatnya menjadi
khalifah. kini turut pula menghadangnya. Kondisi yang betul-betul pahit.
Ali
tidak pandang bulu. Baginya hukum menyentuh siapa saja. Tidak ada istilah
'orang kuat' di mata Ali. BAgi beliau, "orang lemah terlihat kuat
dimataku, saat aku harus berjuang keras mengembalikan hak miliknya yang
terampas. Orang kuat terlihat lemah di mataku, saat aku terpaksa mengambil
sesuatu darinya yang bukan menjadi haknya".
Di
masa Khalifah Ali, pusat pemerintahan di pindahkan ke Kuffah. Dari sini
kemudian ia mengendalikan wilayah Islam, yang saat itu telah meluas termasuk
Syam. Kondisi saat itu benar-benar membutuhkan ketegasan. Sebagai khalifah
terakhir dalam bingkai Khulafa Ar-rasyidin, Ali dihadapkan pada masa pelik.
Dimana akar dari permasalahannya adalah makin bertambahnya Islam dari segi
jumlah namun makin berkurang pula dari segi kualitas. Interest pribadi (nafs),
kesukuan (nasionalisme sempit) yang dibalut atas nama agama, menjadi awal
mulanya masa kemunduran Islam.
Ketidaksempurnaan
informasi yang diterima bunda Aisyah di Mekkah terhadap beberapa kebijakan
Khalifah Ali telah membuatnya menyerbu Kuffah. Perang Jamal (Unta), demikian
sejarah mencatatnya. Sebab bunda Aiysah ra memimpin perang melawan Ali dengan
menunggangi Unta. Bersama Aisyah, turut pula sahabat Zubair bin Awam dan
Thalhah. Di akhir peperangan, Khalifah Ali menjelaskan semuanya, dan Asiyah
dipulangkan dengan hormat ke Mekkah. Ali mengutus beberapa pasukan khusus untuk
mengawal kepulangan bunda Aisyah ke Mekkah.
Berikutnya
adalah Perang Shiffin. Bermula dari GUbernur Syam, Muawiyyah bin Abu Sofyan
yang menyatakan penolakannya atas keputusan Ali mengganti dirinya sebagai
gubernur. Kondisi serba tak taat ini membuat Ali masygul. Mereka bertemu dalam
Perang Siffin. Dan di saat-saat memasuki kekalahannya, pasukan Syam kemudian
mengangkat Al-Quran tinggi-tinggi dengan tombaknya, yang membuat pasukan Kufah
menghentikan serangan. Dengan cara itu, kemudian dibukalah pintu dialog.
Perundingan
inilah yang kemudian membawa babak baru dalam kehidupan Ali, bahkan dunia Islam
hingga saat ini. Sebuah tahkim (arbitrase) yang menurut sebagian pihak membuat
Ali di bagian pihak yang kalah, namun menunjukkan kemuliaan hati Ali di sisi
lain. Syam mengutus Amru Bin 'Ash yang terkenal dengan negosiasinya dan Ali
mengutus Abu Musa Asyari, yang terkenal dengan kejujurannya. Ali nampak
betul-betul berharap terhadap perundingan ini dan menghasilkan traktat yang
membawa kedamaian diantara keduanya. Namun, kelihaian mengolah kata-kata dari
pihak Syam membuat arbitrase itu seperti mengukuhkan kemunduran Ali sebagai
khalifah dan menggantikannya dengan Muawiyah.
Dan
ini menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa elemen di pasukan Ali. Dari sini,
lahirlah para Khawarij yang kelak kemudian, bertanggung jawab terhadap kematian
Khalifah Ali.
Khawarij
itu, Tiga untuk Tiga... Mereka membentuk tim berisi tiga orang yang tugasnya
membunuh tiga orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perundingan
tersebut. Abdurahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin Thalib, Amr bin
Abi Bakar ditugasi untuk membunuh Muawiyah, dan Amir bin Bakar ditugasi untuk membunuh
Amr bin Ash. Mereka kemudian gagal membunuh tokoh-tokoh ini, kecuali Abdurahman
bin Muljam.
Menjelang
wafatnya Khalifah Ali ra, Ali sempat bermuram durja. Sebab, penduduk Kuffah
termakan propaganda dan kehilangan ketaatan kepada dirinya. Saat Ali meminta
warga Kuffah untuk mempersiapkan diri menyerbu Syam, namun warga Kuffah tak
terlalu menanggapi seruan itu. Ini berdampak psikologis amat berat bagi Ali.
Tidak hanya sekali dua kali. tapi acapkali seruan Khalifah Ali di anggap angin
lalu oleh warga Kufah.
Karena
itu, Ali sempat berkata," “Aku terjebak di tengah orang-orang tidak
menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian yang tidak
mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak melakukan
tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama yang kalian yakini dan
mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah kalian?”
Pada
kesempatan yang lain beliau juga berkata, “Wahai umat yang jika aku perintah
tidak menggubris perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab panggilanku!
Kalian adalah orang-orang yang kebingungan kala mendapat kesempatan dan lemah
ketika diserang. Jika sekelompok orang datang dengan pemimpinnya, kalian cerca
mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat, kalian menyerah. Aku tidak
lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian. Jika bersama kalian, aku
merasa sebatang kara.”
"Jika
bersama kalian, aku merasa sebatang kara". Pernyataan pedih mewakili hati
yang pedih. Dalam kehidupan kekinian, mungkin bertebaran di tengah-tengah kita
pemimpin-pemimpin baru atau anak-anak muda berjiwa pembaharu yang dalam hatinya
sama dengan dalamnya hati Ali ra saat mengucapkan kalimat itu. Mereka
menawarkan jalan cerah tapi, kita umatnya memilih kegelapan yang nampak
menyilaukan. Kita abai terhadap ajakan mereka, dan malah mungkin
memusuhinya...mengisolasinya. Ahhh...semoga kita terhindar dari kelakuan keji
itu...
Usaha
Khalifah Ali ra untuk menyusun kembali peta kekuatan Islam sebenarnya telah
diambang keberhasilan. Satu demi satu yang dulunya tercerai berai telah kembali
berikrar setia pada beliau. Namun , Allah berkehendak lain, setelah berjuang
keras sekitar 5 tahun menjaga amanah kepemimpinan umat, dan setelah melewati
berbagai fitnah dan deraan, Khalifah Ali menyusul kekasih hatinya, Rasulullah SAW
dan FAtimah Az-Zahra menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.
Hari
itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 H, saat beliau mengangkat kepala dari
sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahinya.
Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid. “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi
pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”, sabda Ali di tengah cucuran
darah yang mengalir. Dua hari setelahnya, Khalifah Ali wafat. Ia menemui
kesyahidan seperti cita-citanya. Seperti istrinya, Ali juga dimakamkan diam-diam
di gelap malam oleh keluarganya di luar kota Kuffah.
Di
detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan
“Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan
yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” yang artinya, “Siapapun
yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan
siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan
mendapatkan balasannya.”
Beliau
sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim. Di
antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan
anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang
merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat,
memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf
dan nahi munkar.
Islam
telah ditinggalkan oleh satu lagi putra terbaiknya. Pengalaman heroik hidupnya
telah melahirkan begitu banyak kata-kata mulia yang mungkin akan pula menjadi
abadi. Ia menjadi inspirasi bagi setiap pemimpin yang ingin membawa bumi ini
pada ketundukan kepada Allah SWT.
Saat
ia dicerca dari banyak arah, lahirlah perkataan beliau : “Cercaan para pencerca
tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah”.
Saat
beliau mesti menerima kenyataan pahit berperang dengan sahabatnya sendiri, dan
juga mendapatkan persahabatan dari oarng yang dulunya menjadi musuh,lahirlah :
"Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi
penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia
akan menjadi sahabatmu pada suatu hari".
Beliau
juga sangat menghormati ilmu. Tidak terkira banyaknya, kalmat bijak yang keluar
dari mulutnya tentang keutamaan mencari ilmu. Ia juga menyarankan orang untuk
sejenak merenungi ilmu dan hikmah-hikmah kehidupan. Kata beliau,
"Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya
menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat
sedikit".
Khalifah
Ali ra adalah sebuah legenda. He is a legend. Dan legenda tidak akan pernah
mati. Bisa jadi, saat lilin-lilin di sekitar kita mulai padam satu persatu, dan
kita kehilangan panduan karenanya, maka pejamkanlah saja sekalian matamu.
Hadirkan para legenda-legenda Islam itu, termasuk beliau ini, dalam benakmu dan
niscaya ia akan menjadi penerang bagimu...seterang-terangnya cahaya yang pernah
ada di muka bumi.
Artikel Terkait