Sangat sedikit hal yang luar biasa dalam kegiatan-kegiatan
NU selama dasawarsa-dasawarsa akhir pemerintahan kolonial Belanda. Ia menahan
diri dari terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik; dan ketika membuat
pernyataan politik, ia bersikap mendukung pemerintah Belanda. Muktamar
tahunannya didominasi pembicaraan tentang masalah-masalah yang murni agama. Pada Muktamar ke-15 di Menes (Banten) pada 1938, sebagian
anggotanya mengusulkan agar NU berusaha mendudukkan wakilnya dalam Volksraad
(Dewan Rakyat), parlemen-semu-tak-bergigi yang dibentuk oleh penguasa Hindia
Belanda. Usulan ini ditolak oleh mayoritas sangat besar pesertanya, tampaknya
karena mereka menginginkan NU tidak terlibat dalam dunia politik dalam bentuk
apapun. Sikap apolitik ini mungkin telah beerperan bagi
pesatnya perkembangan pendukung NU dalam rentang waktu dimana Sarekat Islam,
yang pada lahirnya lebih nasionalis, terus dilanda penurunan pengaruhnya.
Penguasa kolonial secara konsisten bersikap sangat baik kepada NU –sebagaimana
sikap mereka kepada Muhammadiyah. Periode perkembangan NU hingga 1942 dicirikan
dengan pertambahan pengikut dan perluasan geografis yang luar biasa pesatnya.
Anggota NU tidak terdaftar secara sistematis, dan taksiran mengenai jumlahnya
sangat fluktuatif. Pada pertengahan 1930-an, sekitar 400-an kiai sudah menjadi
anggota NU dan jumlah keseluruhan pengikutnya diperkirakan 67.000 orang. Sulit
mengatakan berapa banyak di antara mereka yang dapat dianggap sebagai anggota
aktif, yang berpartisipasi dalam kegiatan selain berhadir pada acara pengajian
yang diorganisasi NU secara berkala.
Indikasi yang lebih baik mengenai perluasan NU diberikan
oleh jumlah cabang-cabang yang berdiri. Menurut anggaran dasarnya,
cabang-cabang dapat didirikan di suatu kabupaten apabila di sana terdapat
paling tidak dua belas anggota. Muktamar kedua (1927) dihadiri 36 cabang;
muktamar keempat (1929) oleh 62 cabang. Pada 1938 jumlah ini bertambah menjadi
99 cabang, dan sekitar akhir masa penjajahan Belanda konon sudah berdiri 120
cabang (Haidar 1991: 140-1; Aboebakar 1957:477).
NU juga melebarkan sayapnya melampaui daerah pusatnya
semula, Jawa Timur. Walaupun sebagian besar pendirinya adalah orang Jawa Timur,
pada Muktamar ke-4 jumlah cabang yang ada di Jawa Tengah sudah lebih besar
daripada di Jawa Timur, dan separuh lebih besar dari jumlah cabang di Jawa
Barat (yakni, 31 cabang di JawaTengah, 21 di Jawa Timur, dan 10 di Jawa barat).
Pada 1930-an, NU juga sudah mendapatkan tempat berpijak di Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. NU menunjukkan keinginannya untuk
menjadi organisasi berskala nasional dengan menyelenggarakan muktamarnya di
berbagai wilayah Indonesia. Muktamar 1932 diadakan di Bandung (Jawa Barat).
Muktamar 1936 di Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Namun, hal ini tidak dapat
menyembunyikan kenyataan bahwa NU tetap saja sangat didominasi oleh para kiai
Jawa Timur.
Jumlah madrasah yang didirikan dengan bantuan NU,
baik pesantren yang sudah ada ataupun yang sama sekali baru, juga terus
bertambah. Karena kekurangan guru yang memenuhi tuntutan madrasah-madrasah ini,
Muktamar ke-8 (1933) mendukung Kiai Wahab untuk mendirikan sebuah sekolah
pendidikan guru di Solo.
Hubungan dengan kaum pembaru yang sangat tegang pada
tahun-tahun awal berdirinya NU, secara bertahap diperbaiki kembali. Sekitar
pertengahan 1930-an, berkali-kali terlihat tanda-tanda kemauan baik dari kedua
belah pihak. Pada Muktamar ke-11 (1936) di Banjarmasin, Kiai Hasjim Asj’ari
mengajak umat Islam Indonesia agar menahan diri dari saling melontarkan kritik
sektarian satu sama lain dan mengingatkan bahwa satu-satunya perbedaan yang
sebenarnya hanyalah antara mereka yang beriman dan yang kafir. Ajakan ini,
walaupun ditujukan terutama kepada pengikutnya sendiri, juga membangkitkan
respons positif dari kalangan pembaru.
KH Machfoedz Siddiq, yang pada 1937 menjadi Ketua Umum
Tanfidziah, menerbitkan sebuah buku penting. Dalam buku tersebut dia
mengemukakan bahwa taqlid dan ijtihad tidak benar-benar berlawanan secara
diametral sebagaimana yang dikemukakan oleh mereka yang terlibat dalam polemik
sebelumnya. Rumusannya, yang mendamaikan kaum tradisionalis dan pembaru moderat
yang sedang berselisih paham, disambut baik oleh kaum pembaru. Kelompok yang
terakhir ini kemudian mengurangi kritik mereka terhadap berbagai praktek
keagamaan tradisional.
Rekonsiliasi antara berbagai aliran Islam Indonesia sebagian
merupakan respons terhadap beberapa tindakan pemerintah yang membuat kaum
muslimin merasa perlu membentuk sebuah front bersama. Salah satu masalah
penting pada masa itu berkaitan dengan prioritas yang diberikan penguasa Hindia
Belanda kepada hukum (adat) atas hukum Islam di pengadilan-pengadilan. Masalah
yang lebih peka lagi adalah sebuah draft hukum perkawinan yang secara langsung
bertentangan dengan ketentuan Syari’ah. Dalam pandangan umat Islam, ini
merupakan sebuah campur tangan pemerintah yang tidak dapat ditolerir dalam
bidang keagamaan. Pada 1937, para pemimpin NU,
Muhammadiyah dan Partai Sarekat Islam sepakat membentuk sebuah kerangka
kelembagaan untuk menyelenggarakan komunikasi dan musyawarah secara teratur.
Kesepakatan ini akhirnya melahirkan sebuah organisasi payung MIAI (Al-Majlis
al-Islami al-A’la Indonesia, Dewan Tertinggi Islam Indonesia), di mana
kebanyakan organisasi Islam menyatakan diri sebagai anggotanya.
MIAI menghidupkan kembali Kongres Islam berkala nasional
(Kongres Al-Islam) yang pernah diadakan pada dasawarsa sebelumnya. Setelah
1926, beberapa kali kongres masih diselenggarakan, tetapi anggota NU tidak ikut
serta lagi. Muhammadiyah juga secara bertahap sudah menarik diri, dan kongres
tersebut hampir hanya menjadi urusan Sarekat Islam, dengan jumlah peserta yang
terus merosot. Kongresnya yang kesembilan dan terakhir diselenggarakan pada
1932, MIAI mengadakan kongres Al-Islam yang pertama pada 1938 (Sarekat Islam
menyatakannya sebagai kongres ke sepuluh, tetapi organisasi lain bersikeras
bahwa acara tersebut adalah kongres yang pertama). Setelah itu, masih ada dua
kali Kongres, 1939 dan 1941. Topik-topik yang dibicarakan dalam kongres-kongres
ini (lihat Noer: 244-7) pada umumnya menyangkut masalah-masalah agama dalam
pengertian yang ketat, tetapi beberapa di antaranya mengandung implikasi
politik. Partisipasi NU di dalam MIAI merupakan langkah pertama ke arah sikap
yang lebih politis. Demikian juga, nampaknya, Muhammadiyah.
Memimpin NU di Masa Genting
Jakarta,
NU
Sebagai
organisasi yang memperjuangkan kemakmuran masyarakat, baik dari segi rohaniah
maupun jasmaniah rakyat, maka pada masa penjajahan NU terpaksa harus menghadapi
situasi pelik dalam membela rakyat, tidak jarang mereka harus bentrok dengan
penjajah, bahkan pernah pemimpin tertingginya dijebloskan ke penjara, tetapi
dengan sigap kepemimpinan diambil yang lain. Pemimpin NU pada masa itu memang
tidak hanya punya nyali, tetapi seekaligus dituntut memiliki kemampuan politik
yang memadai. Berikut ini penuturan KH Saifuddin Zuhri yang patut disimak.
Pada
suatu hari datang seorang tamu. Ia turun dari dokar yang persis berhenti di
depan rumahku. Aku hampir tidak mengenali tamu itu. Seorang lelaki berperawakan
tinggi dan besar lagi gemuk, ia mengenakan sarung dan blangkon!.
Ia
adalah K.H.A. Kholiq Hasyim, putra Hadlratusy Syaikh Hasyim Asyari Tebuireng,
adik kandung K.H.A. Wahid Hasyim. Kedatangannya yang tiba-tiba itu membawa
berita penting: Hadlratusy Syaikh Hasyim Asyari ditangkap Nippon dan dimasukkan
ke penjara Bubutan Surabaya. Sebagian besar anggota keluarga Tebuireng dan
beberapa santri senior meminta kepada Nippon agar ditangkap bersama-sama supaya
bisa menemani Hadlratusy Syaikh dalam penjara. Untuk sementara waktu, K.H.A.
Khaliq Hasyim aku minta untuk menetap di rumahku, sambil mengamati situasi
kemungkinan pulang ke Tebuireng tenaganya dimanfaatkan untuk mengajar di
Kulliyatul Muallimin.
Tentu
saja Nippon tidak bisa memenuhi tuntutan orang-orang yang minta ditangkap
bersama Hadlratusy Syaikh, yang bakal menyulut api permusuhan di kalangan umat
Islam. Dari Gus Kholiq, aku biasa memanggilnya demikian, aku memperoleh
keyakinan bahwa K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H.A. Wahid Hasyim bekerja
keras mengurus pembebasan Hadlratusy Syaikh.
Tahun
1943 benar-benar merupakan tahun derita yang amat berat. Bagi NU merupakan
ujian barangkali paling puncak dalam sejarahnya sejak didirikan pada tahun
1926. Rois Akbar Hadlratusy Syaikh Hasyim Asyari ditangkap oleh Dai Nippon dan
dipenjarakan. Presiden Tanfidziyah HBNO K.H. Mahfudz Shiddiq, pemimpin dan
organisator paling cakap juga ditangkap dan dipenjarakan oleh Nippon.
K.H.
Abdul Wahab Hasbullah Katib Syuriyah HBNO mengambil alih seluruh tangung jawab
memimpin NU dalam situasi paling sulit dan penuh resiko. Ia tampil ke depan dan
menamakan dirinya Ketua Besar PBNU. Tindakannya untuk menyelamatkan perjuangan
NU didukung oleh seluruh tokoh puncak Syuriyah dan Tanfidziyah, bukan saja
bahkan melakukan baiat prasetia membantu K.H. Abdul Wahab Hasbullah apa pun
akibatnya. Tokoh-tokoh puncak NU itu adalah: K.H. Abdullah Faqih wakil Rois
Akbar, K.H. Abdul Manab Mutadlo wakil katib, K.H.R. Asnawi, K.H. Bisri
Syansuri, K.H. Ridwan, K.H. Masum, K.H. Nahrowi Tohir, K.H. Sahal Mansur, K.H.
dahlan Abdulqohar, semuanya Awan Syuriyah.
Artikel Terkait